Sedikit berbagi cerita kami yang mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi pengembangan potensi terpendam yang ada di Papua. Beberapa hari yang lalu saya bersama rombongan berkesempatan mensosialisasikan terkait kerjasama kami dengan sebuah BUMN untuk pendistribuan bantuan lampu penerangan 1000 titik berbasis tenaga Surya bagi daerah terpencil yang masih jauh dari layanan fasilitas penerangan sebagaimana yang ada dikota-kota, dan pilihannya pada kesempatan ini adalah dikampung-kampung sekitar kabupaten Sarmi sebagai rencana penempatannya. Dalam perjalanan ini, kurang lebih kami tempuh sekitar 3 jam lebih menggunakan kendaraan mobil dari sentani. Beruntungnya, kali ini saya dibersamai oleh rekan sekaligus saya anggap sebagai saudara, bapak Joko Sunaryo yang memiliki segudang pengalaman tentang daerah kabupaten Jayapura dan juga Sarmi, karena beliau sempat mendapatkan amanah dalam penanganan pariwisata di kabupaten Jayapura yang secara geografis berbatasan dengan kabupaten Sarmi. Ya, beliau pernah menjabat sebagai kepala dinas pariwisata kabupaten Jayapura, sehingga perjalanan kami seperti sedang melakukan tur wisata yang dipandu oleh pendamping wisata yang sangat profesional. Hampir setiap jengkal perjalanan yang kami lewati, ada jejak karya dan penelitian beliau, yang tak luput dari pembahasan konsep pembangunan kesejahteraan daerah terutamanya di bidang pariwisata.
Tak terasa, dengan ditemani suguhan pemandangan alam yang luar biasa indah di sisi kiri dan kanan jalan, kamipun sampai di tempat tujuan. Sambutan penuh kehangatan diberikan oleh warga setempat. Kami dihidangkan makanan khas hasil perikanan berupa lalapan ikan mujair yang manis rasanya dipadu dengan sambal dan sayur kuah yang nikmat sekali, apalagi setelah melewati perjalanan yang cukup jauh hingga baru tiba dimalam harinya, makanan pun kami makan dengan lahap. Karena tibanya malam, kamipun mendapatkan penawaran warga untuk menginap di salah satu rumah mereka, sekaligus menggunakan tempat tersebut untuk bersosialisasi, berdiskusi dan sharing berbagai hal terkait tujuan kehadiran kami, termasuk keinginan untuk mendapatkan bibit hewan ternak berupa sapi, kambing dan ayam untuk pengembangan peternakan yang rencana dibuat oleh lembaga pendidikan kami di daerah koya barat.
Keesokan harinya, pagi setelah disuguhi sarapan oleh tuan rumah, kami bersiap berpamitan untuk perjalanan balik. Ungkapan rasa syukur dan terima kasih warga atas kunjungan kami, hanya menambah pupuk semangat kami untuk terus berusaha memberi yang terbaik. Begitupun sebaliknya, kami pun mengucapkan banyak terima kasih kepada mereka yang telah menerima kehadiran kami dengan penuh keramahan.
Dalam perjalanan pulang, keindahan pemandangan alam di pagi hari membuat segar pandangan mata dan kembali menggugah fikiran kami. Keindahan alam dan berbagai jejak sejarah serta adat dan budaya yang tak ternilai harganya ini semua sangat disayangkan jika hanya segelintir masyarakat yang bisa menikmati. Harapan kami, bagaimana warisan berharga ini juga bisa dinikmati dan menginspirasi bagi banyak orang melalui pariwisata, yang sebenarnya juga akan sejalan dengan kenaikan pemasukan keuangan daerah dan perputaran ekonomi bagi masyarakat setempat. Lalu pertanyaan besar muncul, Apakah mungkin Papua bisa seperti Bali dan daerah wisata lainnya di Indonesia yang sudah dikenal luas hingga mancanegara ?.
Ditengah perjalanan, kembali kami banyak berdiskusi tentang potensi wisata, dan bagaimana mestinya dikembangkan untuk di papua. Latar belakang pendidikan saya yang pernah berkesempatan belajar di jepang, dan pak Joko Sunaryo di Jerman, membuat diskusi kami mengalir asyik berimajinasi. Kami sangat iri sebenarnya dengan negeri-negeri tersebut, yang sebenarnya jauh minim kekayaan alamnya, jika dibandingkan dengan milik Indonesia, tapi mampu mengolah negerinya hingga sejahterah rakyatnya. “Sebenarnya, dimasa sebelum pandemi, banyak turis asing yang telah berkunjung di beberapa tempat wisata yang menjadi bagian dari projek saya saat menjabat sebagai kepala dinas pariwisata”, ungkap pak Joko. “Ada yang sekedar wisata sejarah, terutama dari Jepang, yang ingin menyaksikan secara langsung situs-situs peninggalan perang dunia II, dan ada juga yang memang sangat tertarik ingin melihat dan menikmati keindahan alam Papua yang eksotis dan mempesona”, tambah beliau, yang sempat pernah juga menjadi salah satu mitra dari organisasi dunia yang konsen terhadap permasalahan konservasi, penelitian, dan restorasi lingkungan, WWF (World Wide Fund for nature) papua, sebagai peneliti pengembangan pariwisata di kabupaten Sarmi dan kabupaten Merauke. Keahlian yang dimiliki beliau dibidang pariwisata tentu tidak terlepas dari latar belakang pendidikannya yang diperoleh hingga Doktor dengan Disertasinya adalah tentang kebijakan pembangunan pariwisata danau Sentani berbasis masyarakat lokal.
Tak terasa kami hampir sampai di desa nimbokrang. Tak jauh sebelum sampai, pak Joko Sunaryo memperlihatkan kami sebuah tempat yang sebelumnya ia telah ceritakan saat perjalanan kemarin menuju ke Sarmi. Tempat yang membuat kami sangat takjub, dan membuat cakrawala berfikir kami menjelajah jauh kedepan tentang masa depan pariwisata papua yang sedang hangat menjadi pembicaraan kami. Langsung saja kami diajak beliau singgah, dan bertemu dengan pemilik sekaligus pendirinya. Tak ada yang terlihat istimewa sebenarnya jika sekilas dilihat dari luar pagarnya atau jalanan. Nampak terlihat biasa-biasa saja. Di jalan masuk terlihat gapura yang bertuliskan “Isyo Hill’s Bird Watching & Sekolah Alam Yombe Yawa Batun”, dan di halaman depan terlihat beberapa bangunan yang berbahan kayu, serta pepohonan rindang yang serba alami. Kami terus masuk ke dalam dan disambut hangat oleh pemilik sekaligus pendiri tempat tersebut, Bapak Alex Waisimon. Saat diajak dalam perjalanan masuk, kami berpapasan dengan sekumpulan turis asal Belanda yang sedang duduk santai, lalu kami sapa dan berbincang sejenak untuk saling memperkenalkan diri, dan sekedar meluapkan rasa penasaran kami tentang motif para turis tersebut jauh-jauh datang kemari. Pertanyaan penasaran itu dijawab ringkas oleh mereka sambil tersenyum, “ini adalah tempat terbaik..”. Setelah bercakap-cakap dengan mereka, oleh bapak Alex, kami diajak ke ruangan bertingkat yang didalamnya ada terpampang berbagai galeri tumbuh-tumbuhan alam setempat yang telah diawetkan disalah satu ruas dindingnya. Dan memang benar ternyata, ruangan yang kami sedang gunakan ngobrol dengan bapak Alex adalah ruangan yang hendak dijadikan ruang Galeri bagi para pengunjung. Ruangan yang akan dipersiapkan untuk membantu program bapak Alex menyempurnakan konsep sekolah alamnya. “Saya dan Pak Joko Sunaryo ini sudah seperti keluarga, semua yang kami bicarakan tentang wisata di Papua selalu nyambung, dan memang hanya beliau yang nyambung ketika saya ajak bicara tentang pariwisata di papua”, imbuh Pak Alex. “Sekolah Alam ini, dengan tujuan wisata unggulannya adalah bisa melihat perilaku unik burung surga Cenderawasih secara alami di habitatnya, sudah berjalan kurang lebih memasuki tahun ke -8 saat ini, dan semua yang ada sekarang tentu tidak terlepas dari dukungan bapak Joko Sunaryo”, sambungnya. Beliau melengkapi, “konsep kami terutama adalah selain untuk pelestarian dan konservasi alam dan beragam flora dan faunanya, juga bagaimana agar ada pertukaran pengetahuan antara dunia pendidikan di tingkat sekolah dan ilmu yang diperoleh di tingkat universitas dengan kehidupan alam papua”.
Kami sungguh takjub dengan apa yang telah diperbuat oleh beliau, terlebih dengan semangat, konsep dan prinsip bapak Alex sebagai latar belakang dibalik suksesnya beliau memperkenalkan kekayaan hayati Papua hingga keseluruh mancanegara, walau ditengah berbagai keterbatasan, dalam hal akses pendanaan, sarana dan prasarana insfrastruktur yang ideal bagi sebuah lokasi parawisata kelas dunia yang dibangunnya. Baginya, ini bukan sekedar sebuah objek wisata, tetapi yang lebih penting dan tak ternilai adalah sebagai seorang pribumi Papua, apa yang ia mampu perbuat untuk menjaga warisan alam yang diamanahkan oleh Tuhan.
Tempat wisata ini setidaknya telah dihidupi secara alami oleh sekitar 6 jenis burung Cenderawasih, 87 jenis burung lainnya, dan sudah ada wahana Rumah Pohon yang baru-baru ini dikembangkan, untuk melengkapi konsep Sekolah Alam Pak Alex, serta disediakan penginapan bagi para pengunjung, lengkap dengan makanan dan minuman. Sampai saat ini sejak didirikannya, sudah Ratusan Turis asing yang datang berkunjung dari berbagai negara.
Ah.., tak terasa teh hangat yang dihidangkan oleh bapak Alex telah kami sruput habis. Kamipun berpamitan dan berkomitmen siap berkolaborasi dengan beliau melalui lembaga pendidikan sekolah dan Universitas yang juga baru kami rintis, dengan konsep yang mirip dimiliki oleh bapak Alex, yakni mendekatkan kemajuan teknologi dengan kehidupan alam. Dan membantu sebisa apa yang kami mampu berikan untuk perjuangan pak Alex dalam menjaga kelestarian dan kekayaan alam Papua di hutan adat Isyo Rhepang Muaif-Nimbokrang, kabupaten Jayapura.
Dalam perjalanan balik setelah persinggahan tadi, kami benar-benar merasa ada spirit (Semangat) baru yang bertambah untuk melukis sebuah karya terbaik yang mampu kelak kami dedikasikan untuk Papua, terkhusus di bidang parawisata. Pertanyaan besar sebelumnya dibenak kami, tentang mungkinkah Papua menjadi objek wisata kelas dunia, seperti langsung telah terjawab oleh kunjungan ke Isyo Hill’s. Tanggung jawab dan spirit pak Alex tidak bisa begitu saja kita biarkan dipikul sendiri oleh beliau. Harus dibersamai, agar ringan beban yang dipikul, dan harus ada yang mampu menyuarakan dan menyambungkan spirit ini hingga ke ruang-ruang pengampu kebijakan bangsa ini. Hingga harapannya, bisa segera terwujud apa yang telah diimpikan bersama.
(Catatan H. Maddu Mallu, SE., MBA)