Jakarta – Anggota DPR RI dari Fraksi PKS, Almuzzammil
Yusuf, menilai Pimpinan DPR tandingan yang digagas oleh Anggota DPR RI
dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) ajarkan politik anarki. Menurutnya,
pembentukan pimpinan DPR tandingan serta mosi tidak percaya, merupakan
keputusan yang tidak rasional dan tidak sesuai aturan dalam
Undang-undang dan tata tertib yang berlaku.
“Kita ini bukan parlemen jalanan atau penganut politik anarki yang
tidak mau terikat aturan. Jangan sampai legitimasi kita dipertanyakan
karena ketidaktaatan kita pada hukum. Mari beri keteladan yang baik.
Jangan ajarkan rakyat untuk langgar Konstitusi dan UU,” kata politisi
PKS asal Lampung ini dalam keterangan persnya, 30/10/2014.
Menurut Muzzammil, anggota DPR RI periode 20014-2019 telah dilantik
dan disumpah pada 1 Oktober 2014 untuk menaati Konstitusi, UU, Tata
Tertib, dan Kode Etik Anggota DPR RI.
“Kepada teman-teman KIH saya mengajak untuk segera bekerja serta
taati konstitusi dan UU. Pemilihan Pimpinan DPR dan Alat Kelengkapan DPR
telah diatur dalam UU MD3 dan tata tertib. MK juga sudah memutuskan UU
MD3 telah sesuai dengan konstitusi,” jelasnya.
Menurut Muzzammil, setelah MK menolak gugatan teman-teman KIH tentang
UU MD3, seharusnya tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan. Jika KIH
berpendapat bahwa pimpinan DPR definitif melanggar aturan atau tidak
cakap, maka dapat disampaikan di Sidang Paripurna dan Majelis Kehormatan
DPR.
“Mari kita ikuti aturan dan prosedur yang ada. Supaya kita semua
bersama-sama kerja. Seharusnya teman-teman segera daftarkan nama-nama
anggota untuk masuk AKD. Karena pada Pasal 76 UU MD3 menyebutkan setiap
anggota, kecuali pimpinan MPR dan pimpinan DPR, harus menjadi anggota
salah satu komisi,” terangnya.
Muzzammil menegaskan bahwa sikap membuat pimpinan DPR tandingan yang
dilakukan KIH, tidak sah dan berlebihan. Hal ini disebabkan sebagai
lembaga negara, pemilihan pimpinan DPR tidak bisa dilakukan semaunya.
Ada prosedur dan aturan yang harus ditaati sesuai undang-undang dan tata
tertib yang berlaku.
“Silakan buka UU MD3 Pasal 84, Pimpinan DPR dipilih secara musyawarah
untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Jika tidak
mufakat pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh
suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna
DPR. Keabsahan pimpinan hanya bisa dilakukan melalui sidang paripurna
dan disahkan Mahkamah Agung,” paparnya.
Muzzammil menyayangkan alasan KIH yang menginginkan jabatan di DPR
karena berprasangka bahwa KMP akan menghambat kinerja dan memakzulkan
Pemerintahan Jokowi.
“Sikap seperti itu melanggar Kode Etik DPR Pasal 9 yang menyebutkan
setiap Anggota DPR tidak diperkenankan berprasangka buruk atau bias
terhadap seseorang atau suatu kelompok dengan dasar yang tidak relevan,”
terangnya.
Muzzammil menilai, sikap yang diambil KIH ini sebagai bentuk
akumulasi kepanikan dan kekecewaan KIH yang kalah dalam pemilihan
pimpinan.
“Sikap seperti itu justru akan merugikan KIH sendiri yang terkesan
memaksa untuk meminta-minta jabatan dan tidak rasional. Dalam berpolitik
seharusnya kita siap kalah dan siap menang. Kedewasaan kita dalam
berdemokrasi diuji,” tuturnya.