
Apa sikap terbaik
kita dalam memaknai 70 tahun kemerdekaan Indonesia? Jika pertanyaan itu
ditanyakan kepada anak bangsa yang mencintai negeri ini, tentu saja
jawabnya adalah syukur.
Tidak ada negara sebesar Indonesia dalam kebinekaan (suku, budaya, adat,
agama, bahasa, dan sebagainya). Tidak ada satu pun negara yang dapat
menandingi kompleksitas kemajemukan Indonesia. Ajaibnya, negeri yang
demikian majemuk (plural) ini memilih untuk bersatu dalam sebuah nation
bernama Indonesia, padahal ada seribu satu alasan untuk kita tidak
bersatu dan bercerai berai.
Untuk menyatukan potensi kebangsaan yang demikian besar, pastilah negeri
ini memiliki konsepsi kebangsaan yang besar, konsepsi yang hanya bisa
lahir dari tokoh-tokoh besar dengan kapasitas jiwa yang besar. Apa makna
legacy itu bagi kita saat ini? Sebagai bangsa kita harus
senantiasa berpikir dan berjiwa besar, selalu optimistis dan bergerak
maju, bukan manusia yang pesimistis, kerdil, dan minder.
Meski demikian, kita tidak menutup mata bahwa bangsa besar ini hari-hari
ini sedang didera banyak masalah di bidang ekonomi, sosial budaya,
politik, keamanan, dan lain-lain. Sayangnya, bangsa ini belum
menampakkan kapasitas potensialnya untuk menyelesaikan masalah dengan
konsepsi besar yang kita miliki tersebut.
Menyambut Ajakan Panglima TNI
Secara sengaja Fraksi PKS mengundang Panglima TNI Jenderal Gatot
Nurmantyo dalam Seminar Kebangsaan Fraksi PKS DPR dengan tema ”Refleksi
70 Tahun Kemerdekaan Indonesia,” Rabu (26/8) di Kompleks DPR RI Senayan
untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat, khususnya kepada kami di
PKS.
Dalam seminar tersebut, Panglima TNI secara jernih mengulas anatomi
masalah kebangsaan kita sekaligus menunjukkan modalitas yang dimiliki
bangsa ini untuk menyelesaikannya. Panglima mengajak hadirin untuk
merefleksi betapa hari ini kita kehilangan karakter sebagai sebuah
bangsa yang santun dan gotong- royong. Betapa sulit sesama anak bangsa
saling memuji, sebaliknya betapa sering kita dengar saling menuduh dan
menyalahkan.
Bahkan di antara lembaga-lembaga negara—pernah satu masa—kehilangan
kepercayaan (trust ) merujuk konflik antara KPK vs Polri, Pemerintah vs
DPR, yang pernah mencuat. Panglima juga mengajak kita untuk menengok
kembali nilai Pancasila yang sebenarnya memberikan alas yang kokoh bagi
kebangsaan kita.
Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, menegaskan bahwa apa pun agamanya
bangsa ini adalah bangsa ber-Tuhan dengan Tuhannya masing- masing. Pun
sila ini lahir dari konsensus dan kebesaran jiwa tokoh umat Islam yang
mayoritas, yang mengalah untuk melepas kalimat ”dengan kewajiban
menjalankan syariat islam bagi pemuluknya,” demi menghayati bahwa bangsa
ini adalah bangsa yang majemuk.
Panglima juga memberi penekanan bahwa sila-sila Pancasila merupakan
jalinan yang harus diamalkan sejak sila pertama hingga mampu mewujudkan
sila kelima keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
(kesejahteraan). Beliau memberikan penekanan pada sila keempat, di mana
demokrasi kita dibangun di atas aras musyawarah.
Sayang sekali, tradisi permusyawaratan (musyawarah) itu kini mulai
kikis—untuk tidak mengatakan hilang—termasuk di lembaga perwakilan
(DPR). Penulis berbesar hati memberikan apresiasi yang tinggi kepada
Panglima TNI yang mampu memotret permasalahan kebangsaan ini secara
tepat dan memberikan solusi yang juga tepat.
Dan, gayung pun bersambut, PKS memiliki cara pandang yang sama tentang
kebangsaan Indonesia. Apa yang hilang dari bangsa ini adalah karakter
Indonesia yang sejatinya termanifestasi secara baik dalam falsafah
negara: Pancasila serta konstitusi: UUD 1945. Bersama semboyan Bhinneka
Tunggal Ika dan konsepsi NKRI sebagai platform kebangsaan ia teruji
mampu menopang kebesaran Indonesia hingga hari ini.
Kita lupa (atau sengaja melupakan) bahwa kunci penyelesaian masalah kita
ada pada konsepsi besar yang diwariskan oleh pendiri bangsa ini, yang
pada intinya itulah cermin karakter dan kepribadian kita. Maka itu,
dalam rangka Refleksi 70 Tahun Kemerdekaan Indonesia ini, penulis
mengajak kita semua untuk merevitalisasi kebanggaan, pemahaman, dan
praktik kita atas platform kebangsaan kita agar terwujud Indonesia yang
berkarakter, bermartabat, adil, dan sejahtera.
Indonesia berkarakter dan bermartabat adalah Indonesia yang punya jati
diri atau kepribadian khas sebagai bangsa dalam berbagai bidang:
ideologi, sosial budaya, ekonomi, politik, dan hankam. Kita kembalikan
karakter asal kita sebagai bangsa yang religius, beradab, jujur, sopan
santun, bertanggung jawab, penuh hikmat/ kebijaksanaan, kekeluargaan,
gotong-royong.
Kita kembalikan karakter bangsa yang mandiri secara ekonomi, berdaulat
secara politik, berkarakter dalam sosial budaya, bukan bangsa yang
membebek/mengekor bangsa lain, atau dalam bangsa yang pasrah dalam
pengaruh kultur bangsa lain yang menghegemoni, sebagaimana pernah
disitir oleh Bung Karno dulu. Sementara Indonesia adil sejahtera adalah
manifestasi tujuan kita bernegara sebagaimana termaktub dalam
konstitusi.
Berlomba
Hari ini, jujur harus kita akui, betapa pun sebagai bangsa kita
merayakan 70 tahun kemerdekaan, tapi realitasnya kita masih
terkapling-kapling dan terkotak- kotak dalam kepentingan pribadi,
kelompok, golongan, partai, dan seterusnya. Kadangkala kita terlalu
bersemangat mengedepankan ego sehingga lupa bahwa kita berjuang untuk
Indonesia yang sama.
Sebagai bangsa yang mewarisi konsepsi kebangsaan yang demikian hebat
sudah seharusnya kita kembali menapaki apa yang seharusnya untuk bangsa
ini, dan jika ada seruan yang mewakili itu semua, ialah : mari kita
berlomba merawat Indonesia. Tentu seruan itu haruslah berangkat dari
kecintaan kita kepada negeri ini, berangkat dari ketulusan hati untuk
mengabdikan diri pada Indonesia yang kita cinta.
Tanpa motif itu, ia akan kehilangan makna dan elan vital – nya. Ketika
kita berangkat dari cara pandang yang sama, tidak ada alasan bagi siapa
pun untuk mengklaim republik ini, mengklaim kelompoknya paling berjasa,
mengklaim partainya paling nasionalis, sambil memandang rendah dan
sebelah mata pihak/ kelompok lainnya. Dengan semangat yang sama, tentu
tidak akan ada saling tuduh, saling tuding, dan saling menyalahkan di
antara anak bangsa.
Sebaliknya, yang muncul adalah saling memuji, saling mendukung, dan
saling menguatkan satu sama lain. Tentu bukan berarti tidak kritik sama
sekali, tapi kritik disampaikan secara santun dan beradab.
Penulis merasakan inilah yang selama ini hilang dari bangsa kita,
terutama setelah keran kebebasan (demokrasi) terbuka lebar
pascareformasi. Pilihan di tangan kita, akankah kita bisa menjadi bangsa
yang berkarakter dan bermartabat untuk Indonesia adil dan sejahtera?
Jawabnya: harus! (sindonews)
Jazuli Juwaini
Ketua Fraksi PKS DPR RI